ABSTRAK
Kajian terbaru dalam etika keagamaan mengisyaratkan pentingnya mempertimbangkan bagaimana kebajikan dikejar dan diwujudkan dalam kehidupan dan praktik manusia sehari-hari, serta memperhatikan pengalaman kebajikan yang sebelumnya diabaikan. Esai ini berpendapat bahwa pengalaman cinta pada orang autis dapat memperkaya pemahaman kita tentang sifat dan ruang lingkup cinta yang berbudi luhur sebagaimana dipahami dalam tradisi Kristen. Dalam membuat argumen ini, saya mengembangkan penjelasan tentang cinta autis yang mengacu pada kajian dari psikologi dan antropologi, narasi orang pertama yang diterbitkan oleh penulis autis, dan studi kualitatif yang dilakukan di Universitas Duquesne. Sumber-sumber ini menunjukkan adanya cinta yang komprehensif dan umum yang berakar pada pemahaman tentang diri sendiri sebagai sesuatu yang sangat terkait dengan dunia sekitarnya. Saya menyimpulkan esai ini dengan mempertimbangkan bagaimana cinta semacam ini, meskipun tidak selalu secara eksplisit Kristen, dapat menginformasikan dua perdebatan kontemporer dalam etika kebajikan Kristen.
